Pembangunan Rumah Bersubsidi Salah Sasaran

Pembangunan Rumah Bersubsidi Salah Sasaran

Rumah MBR di sebuah perumahan di kawasan Maja, Lebak, Banten, sekitar 65 km dari stasiun Kebayoran (Jakarta).


Sistem pengadaan rumah bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) yang berjalan saat ini salah sasaran, karena tidak selaras dengan kebutuhan. Perumahan bersubsidi itu diadakan pemerintah untuk memenuhi kebutuhan hunian MBR di kota-kota besar. Namun, pengembangannya diserahkan ke pasar atau developer real estate yang sangat berorientasi keuntungan. Pemerintah hanya menyediakan dukungan subsidi untuk pemilikan rumahnya. Akibatnya, lokasi rumah subsidi makin jauh ke pinggiran kota yang sulit dicapai MBR dari tempat kerjanya di dalam kota.

Sebagai contoh, rumah subsidi di kawasan Maja, Lebak (Banten), berjarak 60-an km dari stasiun Kebayoran Baru, Jakarta. Menumpang kereta komuter melalui stasiun Maja ke stasiun Kebayoran sekitar 1 jam 11 menit menurut Google. Itu belum menghitung waktu dan biaya perjalanan dari rumah ke stasiun Maja, dan dari stasiun tujuan (Kebayoran) ke tempat kerja di Jakarta.

Menurut Djehansyah Siregar, Dosen Kelompok Keahlian Perumahan dan Permukiman, Sekolah Arsitektur Perencanaan dan Pengembangan Kebijakan (SAPPK) ITB Bandung, dalam wawancara dengan AyoProperti beberapa waktu lalu, subsidi yang diberikan pemerintah memang membuat cicilan kredit rumah MBR lebih terjangkau. Tapi, karena pengembangannya diserahkan ke pasar, lokasi rumahnya menjadi makin jauh dari tempat kerja MBR di dalam kota. Soalnya, developer hanya bisa membangun rumah MBR itu di pinggiran kota yang harga tanahnya masih rendah.

"Saat ini agar developer tetap untung membangun rumah subsidi, harga tanahnya tidak boleh melebihi Rp250 ribu per meter persegi (m2). Itu pun dengan kualitas bangunan, infrastruktur, dan lingkungan seadanya," kata Djehansyah. Memang perumahan subsidi yang sangat jauh di pinggiran kota-kota besar itu akhirnya tetap terpasarkan. Tapi, konsumennya banyak yang salah sasaran karena berpendapatan di atas patokan pendapatan MBR yang berhak membeli rumah subsidi. Pemerintah kemudian mengatasinya dengan menaikkan batas pendapatan MBR itu dari sebelumnya Rp4,5 juta menjadi Rp6-8 juta/bulan tergantung wilayah dan status MBR (menikah atau belum menikah).

Sebagian pembeli rumah subsidi itu memang MBR, tapi mereka membelinya bukan karena lokasi rumahnya memenuhi kebutuhan mereka, tapi lebih karena motivasi "sayang bila tidak memanfaatkan subsidi" yang disediakan pemerintah. Jadi, rumah subsidi itu dibeli lebih sebagai investasi, bukan karena ingin ditempati. "Program pengadaan rumah MBR yang dilakukan pemerintah sudah salah sasaran," tegas Djehansyah. Belum ada survei mengenai rumah subsidi yang kosong atau dibiarkan terlantar, kendati beberapa tahun lalu Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) melalui auditnya sudah menyampaikan teguran mengenai hal itu ke Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR). Para petinggi Kementerian PUPR hanya memberikan jawaban normatif bila dtanya mengenai banyaknya rumah subsidi yang kosong dan salah sasaran itu.


Dapatkan berita update AyoProperti.com di Google News


Read more stories:

Menteri BUMN: BTN Harus Bisa Membiayai Pengadaan Rumah Lebih Banyak

Kuotanya Merosot, MBR Buru-Buru Beli Rumah Subsidi

Tahun Ini Himperra Bangun 30 Ribu Unit Rumah Subsidi

Pengadaan Rumah MBR Harus Dievaluasi Total

SiKasep, Cara Mudah Mengetahui Permintaan Rumah