Pengadaan Rumah MBR Harus Dievaluasi Total

Pengadaan Rumah MBR Harus Dievaluasi Total

Ilustrasi rumah susun sederhana sewa alias rusunawa di Jakarta


Belajar dari negara-negara yang sudah sukses mengatasi persoalan housing backlog dan permukiman kumuh seperti Jepang dan Singapura, kini juga Korea Selatan dan Tiongkok, pemerintah harus mengevaluasi total program pengadaan rumah bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) di perkotaan. Yaitu, dengan tidak lagi mengutamakan pengadaan rumah subsidi melalui developer real estate seperti selama ini, melainkan mengembangkan program public rental housing atau hunian sewa yang murah dan mudah dijangkau MBR dari tempat kerjanya di dalam kota.

Pendapat itu dikemukakan Djehansyah Siregar, Dosen Kelompok Keahlian Perumahan dan Permukiman, Sekolah Arsitektur Perencanaan dan Pengembangan Kebijakan (SAPPK) ITB Bandung, dalam wawancara dengan AyoProperti beberapa waktu lalu. Pasangan calon (paslon) presiden/wakil presiden (capres/cawapres) memasukkan pengadaan rumah rakyat itu sebagai salah satu prioritas program yang akan dijalankannya bila terpilih. Namun program pengadaan rumah rakyat yang disampaikan tiga paslon tersebut, lebih kurang masih serupa dengan program yang dijalankan pemerintahan selama ini, termasuk pemerintahan Presiden Joko Widodo melalui program sejuta rumah. Hanya target pengadaan rumahnya yang dinaikkan jauh lebih tinggi dengan mengalokasikan anggaran yang lebih besar.

Menurut Djehansyah, saat ini kebutuhan rumah yang paling besar berasal dari kalangan MBR di kota-kota besar baik yang bekerja di sektor formal maupun informal. Hal itu wajar karena sebagian besar penduduk kini berada di perkotaan dan jumlahnya akan terus bertambah. Karena itu fokus pengadaan hunian harus dihadapkan ke sana. "Caranya dengan tidak lagi fokus mengadakan rumah subsidi melalui developer real estate, tapi mengembangkan program public rental housing yang dijalankan oleh BUMN (badan usaha milik negara). Atau membina program serupa yang dijalankan BUMD (badan usaha milik daerah) di daerah," katanya.

Untuk itu pemerintah melalui Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) perlu menggalakkan lagi sekaligus menyempurnakan program pengadaan rusunawa (rumah susun sederhana sewa), dan menghapus program rusunami (rumah susun sederhana hak milik) yang kini justru menjadi sarang masalah sosial selain kualitas bangunannya yang buruk. Sementara program bedah rumah swadaya di permukiman kumuh, jelas Djehansyah, harus dikembalikan ke program P2BPK (Pembangunan Perumahan Bertumpu Pada Kelompok) yang pernah dijalankan tahun 1990-an. "P2BPK inilah program rumah swadaya yang sebenarnya, bukan bedah rumah. P2BPK berbasis pada peran pemerintah memberdayakan kelompok masyarakat untuk membangun rumah yang layak secara mandiri (self-help housing)," ujar Djehansyah.

Sebaliknya Bantuan Stimulan Perumahan Swadaya (BSPS) atau program bedah rumah, pada dasarnya adalah pelepasan aset negara dalam jumlah yang sangat besar kepada individu masyarakat. Pelepasan ini seharusnya sedikit saja dan hanya bisa dibenarkan jika menyangkut kedaruratan atau untuk mengatasi masalah sosial/kemiskinan. Oleh karena itu skema bedah rumah layaknya menjadi program social housing oleh Kementerian Sosial.

Program bedah rumah disebut Kementerian PUPR untuk membantu perbaikan rumah swadaya milik MBR agar lebih layak huni. Fokus perbaikan pada empat komponen: bangunan, suplai air bersih, sanitasi, dan luasan rumah. BSPS diberikan dalam bentuk uang dan barang. Dalam bentuk uang nilainya Rp20 juta/unit rumah. Yaitu, Rp17,5 juta untuk pembelian bahan bangunan dan Rp2,5 juta untuk upah tukang. Sementara dalam bentuk barang, BSPS memberikan bantuan prasarana, sarana, dan utilitas umum (PSU) agar lingkungan hunian menjadi lebih layak. Dikutip dari web Kementerian PUPR, tahun ini khusus rumah swadaya saja anggarannya sekitar Rp2,7 triliun untuk 105 ribu rumah. Kementerian PUPR menyebut rumah yang layak huni di Indonesia baru sekitar 54 persen, yang akan ditingkatkan menjadi 74 persen hingga tahun 2024.

"Intinya, ke depan kementerian yang membidangi perumahan harus fokus pada program-program di sisi produksi dengan prioritas di perkotaan. Caranya dengan menyiapkan instrumen pengembang publik dalam bentuk BUMN atau BUMD. Bukan dengan memperbanyak satuan kerja proyek APBN (seperti dalam program bedah rumah). Kegemaran mengerjakan proyek sendiri ini menghilangkan peran kementerian sebagai regulator dan berganti menjadi operator," tegas Djehansyah.


Dapatkan berita update AyoProperti.com di Google News


Read more stories:

Menteri BUMN: BTN Harus Bisa Membiayai Pengadaan Rumah Lebih Banyak

Kuotanya Merosot, MBR Buru-Buru Beli Rumah Subsidi

Tahun Ini Himperra Bangun 30 Ribu Unit Rumah Subsidi

Pembangunan Rumah Bersubsidi Salah Sasaran

SiKasep, Cara Mudah Mengetahui Permintaan Rumah