Gairah KPR Syariah Makin Perlu Dana Murah

Gairah KPR Syariah Makin Perlu Dana Murah


Saat ini BTN menguasai hampir 40% pangsa pasar KPR di Indonesia. Khusus KPR subsidi pangsanya sekitar 83%. BTN masih sangat menguasai penyaluran KPR subsidi. Dari total penyaluran kredit dan pembiayaan tahun 2023 senilai Rp333,69 triliun misalnya, sebanyak Rp161,74 triliun atau hampir separonya merupakan KPR subsidi. KPR non subsidi hanya Rp96,17 triliun atau 28 persenan. Selebihnya sekitar 20 persenan kredit non KPR dan non perumahan. Mungkin secara gradual BTN perlu memperbesar porsi KPR komersial, karena lebih sustainable secara bisnis bila dikaitkan dengan upaya mengukuhkan statusnya sebagai penguasa KPR.

KPR subsidi sangat tergantung pada kebijakan dan anggaran pemerintah. Kuotanya setiap tahun bisa sangat fluktuatif, yang akan mempengaruhi bisnis BTN. Tahun lalu misalnya, subsidi KPR tersedia untuk 226.000 rumah, tahun ini hanya untuk 166.000 unit. Selain itu penyaluran KPR subsidi oleh bank-bank lain sangat mungkin makin besar yang menggerus pangsa KPR subsidi BTN. Nixon LP Napitupulu saat masih menjabat Direktur Collection & Asset Management BTN pernah menyatakan, kredit bermasalah atau non performing loan (NPL) BTN yang tinggi tahun 2019, disumbang oleh KPR komersial dan kredit nonkonstruksi.

“NPL kita yang tinggi itu berasal sektor non konstruksi dan pembiayaan rumah komersial yang kami memang bukan ahlinya. Hal itu terjadi baik pada KPR konvensional maupun syariah,” katanya saat memaparkan kinerja BTN semester I 2019 di Jakarta, seperti dikutip housingestate.id medio Juli 2019. Yang dimaksudnya KPR komersial adalah kredit untuk rumah seharga di atas Rp500 juta. Sementara untuk rumah murah dan rumah subsidi, Nixon menyebut NPL-nya sangat bagus. Karena itu ia menyatakan secara gradual penyaluran KPR rumah komersial akan dikurangi, dialihkan ke KPR di bawah Rp500 juta. "BTN akan kembali based on track sebagai bank dengan spesialisasi pembiayaan rumah murah," ujarnya.

Pendapat itu tidak salah. BTN harus tetap konsisten menyalurkan KPR subsidi, tapi jangan pula terlalu tergantung pada KPR subsidi. Apalagi, KPR subsidi cenderung generik. Kurang mendukung upaya BTN meningkatkan keahlian SDM-nya dalam penyaluran KPR. Sebaliknya KPR komersial, penyalurannya bisa lebih mengasah profesionalitas orang BTN dalam pembiayaan perumahan. BTN sendiri tampaknya sudah menyadari hal itu. Terlihat dari dimasukkannya peningkatan penyaluran KPR komersial menjadi salah satu agenda transformasinya. Implementasinya antara lain berupa pengembangan sales centre untuk emerging affluent (ticket size >Rp750 juta per debitur) di sejumlah lokasi strategis. Yang sudah direalisasikan antara lain di Surabaya, Kelapa Gading-Jakarta Utara, dan BSD City-Tangerang. Hasilnya, sepanjang 2023 BTN bisa menjaring 814 debitur dengan nilai penyaluran kredit Rp766 miliar di tiga wilayah yang selama ini BTN "belum terlalu dikenal" itu.

4 Tipe Konsumen Islam

Ikhtiar BTN menyapih Unit Usaha Syariah (UUS)-nya menjadi bank umum syariah (BUS), dengan atau tanpa merger dengan bank syariah lain, merupakan langkah yang patut diapresiasi. BTN Syariah memiliki keunikan, fokus membiayai perumahan. Belum ada bank syariah seperti itu sebelumnya. Namun, pembentukan BTN Syariah tetap harus diikuti dengan agresifitas penghimpunan dana murah. Apalagi, cicilan KPR syariah cenderung lebih tinggi ketimbang KPR konvensional.

Syariah (Islam) hanya sistem. Dalam bisnis dan ekonomi bagaimanapun rasionalitaslah yang bekerja, bukan ideologi atau sentimen keagamaan. Orang cenderung mencari yang paling efisien, entah sistemnya syariah atau bukan. Memang, ada kenaikan signifikan (17,4%) penyaluran pembiayaan oleh UUS Syariah BTN tahun lalu dari Rp31,6 triliun menjadi Rp37,1 triliun. Tapi, peningkatan itu perlu ditelaah lebih seksama, apakah memang karena KPR Syariah makin diminati karena ghirah keagamaan kendati cicilannya lebih besar, atau lebih karena kontribusi penyaluran KPR bersubsidi dengan akad syariah?

Dalam hal ini mungkin baik kalau kita menyimak buku “Marketing to the Middle Class Moslem”. Menurut buku karangan pakar manajemen Yuswohady dkk itu, dikaitkan dengan produk berlabel syariah, kelas menengah muslim bisa dibagi menjadi empat kategori atau tipe. Yaitu, apatis, konformis, rasionalis, dan universalis.

Apatis: semboyannya “Emang Gue Pikirin?”. Konsumen tipe ini memiliki pengetahuan, wawasan, dan seringkali juga tingkat kesejahteraan yang masih rendah. Kepatuhan menjalankan nilai-nilai Islamnya juga kurang. Mereka juga umumnya tidak memiliki pemahaman yang cukup mengenai produk-produk berlabel Islam atau yang menawarkan value proposition yang Islami. Karena itu mereka tak begitu peduli apakah suatu produk bermuatan nilai-nilai keislaman atau tidak.

Rasionalis: “Gue Dapat Apa?”. Kelompok ini adalah jenis konsumen yang punya pengetahuan memadai, open-minded, dan berwawasan global, tapi kepatuhan terhadap nilai-nilai Islamnya juga rendah. Mereka sangat kritis dan pragmatis dalam memilih produk berdasarkan fungsi dan kemanfaatannya, dan cenderung mengesampingkan aspek-aspek yang berkaitan dengan ketaatan pada nilai-nilai Islam. Bagi mereka label Islam, value proposition syariah, atau kehalalan, bukan pertimbangan penting dalam membeli.

Konformis: “Pokoknya Harus Islam”. Konsumen tipe ini umumnya sangat taat beribadah dan menerapkan nilai-nilai Islam secara normatif. Karena keterbatasan wawasan dan sikap yang konservatif/tradisional, mereka cenderung kurang membuka diri (less open-minded, less inclusive) terhadap nilai-nilai di luar Islam. Mereka lebih memilih produk-produk berlabel Islam atau yang di-endorsed oleh otoritas Islam terlepas dari apakah produk itu memberikan nilai lebih dari segi kemanfaatannya.

Universalis: “Islami Lebih Penting”. Sosok konsumen ini di satu sisi memiliki pengetahuan/wawasan yang luas, pola pikir global, dan melek teknologi; di sisi lain juga teguh menjalankan nilai-nilai Islam dalam kehidupan sehari-hari. Mereka memahami dan menerapkan nilai-nilai Islam secara substantif, bukan normatif. Mereka lebih mau menerima perbedaan dan cenderung menjunjung tinggi nilai-nilai yang bersifat universal. Singkatnya mereka adalah sosok yang toleran, open-minded, dan inklusif terhadap nilai-nilai di luar Islam.

Konsumen muslim yang manakah di pasar yang paling dominan? BTN perlu menganalisisnya lebih mendalam supaya BUS-nya sukses di pasar. Jangan terkecoh. Kendati ghirah beragama orang Islam pasca reformasi begitu menguat, faktanya sejauh ini sambutan pasar terhadap keberadaan bank syariah tidaklah sesemarak ghirah tersebut. Setelah lebih dari dua dekade atau lebih dari tiga dekade bila dihitung sejak pendirian Bank Muamalat, share perbankan syariah terhadap total industri perbankan nasional masih berkutat di bawah 10%. Tahun 2023 misalnya, share-nya baru 7 persenan.    


Dapatkan berita update AyoProperti.com di Google News


Read more stories:

Menteri BUMN: BTN Harus Bisa Membiayai Pengadaan Rumah Lebih Banyak

Jadi Bank Transaksi, Cara Efektif Raup Dana Murah

Bunga Kredit Rumah Rendah Bila Ada Dana Murah 1

Laba BTN Syariah Melesat 110 Persen!

Begini Cara Beli Rumah Inden Secara Syariah