Kenapa Kebanyakan Orang Kota Tetap Memilih Rumah Tapak?

Kenapa Kebanyakan Orang Kota Tetap Memilih Rumah Tapak?

Jajaran apartemen di bilangan Cawang Jakarta


Kendati apartemen makin massif dibangun di kota-kota besar karena stok lahan yang kian langka, pilihan hunian kebanyakan orang termasuk kaum milenial masih rumah tapak (landed house). Survei digital yang dilakukan Telkomsel melalui tSurvey.id baru-baru ini mengungkapkan, di Jakarta yang paling padat penduduknya, serta paling banyak dan paling bervariasi pengembangan apartemennya sekalipun, hanya 7% responden yang memilih apartemen sebagai hunian. Sedangkan di Jawa Bali tidak termasuk Jakarta, hanya 0,6%.

Padahal, kemacetan lalu lintas di kota-kota besar, isu lingkungan (penghematan energi dan reduksi emisi), kualitas hidup (stres dan minimnya waktu berkumpul dengan keluarga), dan kelangkaan tanah mestinya mendorong orang lebih memilih apartemen ketimbang rumah tapak di pinggiran kota yang jauh dari pusat-pusat kegiatan.

Dengan tinggal di apartemen di dalam kota atau tidak jauh dari pusat kota, orang lebih dekat atau lebih mudah mencapai tempat kerja sehingga mengurangi mobilitas, biaya, konsumsi BBM, polusi, stres, dan konversi lahan menjadi bangunan. Lingkungan pun lebih terjaga dan kualitas hidup meningkat. Kenapa orang tetap ogah tinggal di apartemen?

Dari wawancara dengan pengamat dan beberapa konsumen termasuk yang sudah tinggal di apartemen sebelum akhirnya pindah juga ke rumah tapak, orang malas memilih apartemen selain karena tidak adanya pembudayaan dari pemerintah, juga karena alasan biaya. Biaya tinggal di apartemen yang disebut service charge jauh lebih mahal. Begitu pula biaya listrik, air bersih, telepon, dan pajak bumi dan bangunan (PBB)-nya.

Kalau hanya melihat service charge, biaya listrik dan air, serta PBB, biaya tinggal di apartemen memang jauh lebih tinggi daripada di rumah tapak. Tapi, bila seluruh aspek terkait dibandingkan, tinggal di landed house di luar kota justru lebih mahal. Yang jelas lebih tinggi adalah biaya transportasi, biaya BBM, tol, dan pemeliharaan kendaraan bila ke tempat kerja menggunakan kendaraan pribadi.

Kemudian biaya tidak langsung seperti stres dan lebih gampang sakit karena kehilangan banyak waktu dan energi di jalan, kurang produktif, serta minimnya waktu berkumpul dengan keluarga. Bagi pasangan muda yang anak-anaknya masih dalam masa pertumbuhan dan butuh banyak perhatian misalnya, biaya-biaya intangible itu mestinya juga dipertimbangkan. Sayangnya kita belum pernah melakukan studi detail mengenai aspek ini.

Faktor lain yang membuat umumnya orang tetap lebih memilih rumah tapak, ukuran unit apartemen jauh lebih kecil dibanding rumah tapak sekelas. Di apartemen penghuni juga tidak leluasa menata huniannya, beraktifitas sampai menerima kerabat. Sebaliknya di rumah tapak, selain luasannya lebih besar dan punya tanah sendiri, penghuni juga leluasa menata huniannya, berkegiatan, dan menerima kerabat atau tamu.

Dengan kata lain, pilihan tinggal di apartemen atau landed house memang tidak ditentukan hanya oleh biaya langsung dan tidak langsung. Warga urban muda yang rasional, sibuk, mobile, ingin serba praktis, sangat menghargai waktu dan karena itu sensitif terhadap persoalan transportasi, cenderung akan memilih apartemen.

Desain apartemen yang kompak dengan keamanan dan privasi lebih tinggi, cocok dengan mereka. Semua tetek bengek hunian sudah ditangani pengelola apartemen termasuk rekening listrik, air, dan telepon. Penghuni tinggal mengurus unit apartemennya. Fasilitas apartemen pun komplit. Hanya, sampai kini kelompok masyarakat seperti ini masih sangat minoritas di Indonesia.

Sedangkan yang belum mengadopsi gaya hidup praktis, efisien, cepat, dan belum menganggap tinggi nilai waktu, akan bertahan di rumah biasa di luar kota. Mereka akan mensiasati persoalan transportasi dengan, misalnya berganti kendaraan yang lebih irit, berlangganan tol, mencari rute yang lebih ringkas ke tempat kerja, beralih memakai sepeda motor dan/atau menggunakan angkutan umum massal.

Preferensi budaya seperti punya banyak anak dan kerabat, kedekatan rumah dengan kediaman kerabat atau tempat kerja istri dan sekolah anak, ikut mempengaruhi pilihan hunian itu. Mengalahkan stress dan kehilangan banyak waktu di jalan, serta kurangnya waktu berkumpul dengan keluarga. Ada juga pengaruh gengsi (prestise). Unit apartemen seluas apapun, sulit dibanggakan kepada khalayak. Sementara rumah tapak bisa dipamerkan sebagai simbol sukses.

Faktor lain yang membuat tinggal di apartemen masih kalah pamor dibanding rumah tapak, adalah promosi yang terlalu mengedepankan apartemen sebagai instrumen investasi, bukan solusi hunian di kota besar yang padat. Harga apartemen dalam meter persegi juga jauh lebih tinggi dibanding rumah tapak. Jadi, yang mampu membeli apartemen hanya segelintiran orang dan kebanyakan yang itu-itu juga. Mereka membeli apartemen bukan untuk dipakai sendiri, tapi untuk disewakan atau dijual lagi. 


Dapatkan berita update AyoProperti.com di Google News


Read more stories:

Sekarang Orang Lebih Suka Beli Apartemen yang Sudah Jadi

Sudah Jadi dan Setengah Jadi, 5 Apartemen Ini Lebih Aman Dibeli

Tahun Ini Saat Tepat Beli Apartemen

10 Faktor Penentu Harga Rumah 4

10 Faktor Penentu Harga Rumah 3