Klaim Sejuta Rumah yang Salah Kaprah

Klaim Sejuta Rumah yang Salah Kaprah

Ilustrasi sejuta rumah (dok. PPDPP Kementerian PUPR)


Awal November lalu Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) mengklaim, selama Januari-September pemerintah melalui Program Sejuta Rumah (PSR) berhasil merealisasikan pembangunan 896.121 unit rumah. Yaitu, 771.753 unit rumah untuk masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) dan 124.368 unit rumah non MBR. Dari jumlah rumah MBR itu, sebanyak 351.057 unit pembangunannya dilaksanakan Kementerian PUPR, kemudian oleh pengembang 323.714 unit, kementerian dan lembaga lain 19.289 unit, pemda 37.567 unit, program tangung jawab sosial perusahaan (CSR) 1.285 unit, dan masyarakat umum 38.839 unit. Sedangkan dari 124.368 unit hunian non MBR, sebanyak 46.238 unit dibangun pengembang dan 78.130 unit oleh masyarakat. Kementerian PUPR optimis sampai akhir tahun ini capaiannya akan melampaui 1 juta unit.

Jehansyah Siregar (foto dok. pribadi)Jehansyah Siregar

Jehansyah Siregar, Dosen Kelompok Keahlian Perumahan dan Permukiman, Sekolah Arsitektur Perencanaan dan Pengembangan Kebijakan (SAPPK) ITB Bandung, mengritik keras klaim pemerintah soal pencapaian PSR itu. "Cara menilai kinerja pembangunan perumahan rakyat itu tidak berubah sejak tahun 2015. Pemerintah memasukkan pembangunan rumah yang dilakukan semua kalangan ke dalam PSR. Bahkan, pembangunan rumah komersial yang dilakukan pengembang. Tujuannya agar target PSR setiap tahun terlihat tercapai. Cara-cara seperti itu jelas salah kaprah dan tidak akan menyelesaikan masalah. Terbukti dari data BPS tahun 2020, angka housing backlog dan permukiman kumuh justru bertambah luas,” katanya kepada AyoProperti, Senin (6/11/2023). Ia menyatakan, setidaknya ada tiga alasan kenapa klaim pemerintah itu salah kaprah.

Pertama, klaim itu tidak mengurangi housing backlog yang mencapai sekitar 15 juta unit. Program bedah rumah yang hanya memperbaiki sebagian dinding dan atap rumah swadaya, tidak bisa dihitung sebagai pembangunan satu unit rumah. Bantuan pembangunan prasarana dan sarana umum (PSU) untuk perumahan bersubsidi berupa jalan dan saluran drainase juga demikian. "Memasukkan bantuan PSU ke dalam capaian PSR berarti menghitung dua kali pembangunan rumah bersubsidi oleh pengembang," ujar Jehansyah.

Kedua, pembangunan rumah rakyat salah sasaran. Misalnya, penerima manfaat berpendapatan jauh di atas UMP. Lokasi perumahan tidak memenuhi kebutuhan MBR di kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung, Medan dan Surabaya, karena dibangun di pinggiran kota yang sangat jauh dari tempat mereka bekerja. Kualitas bangunannya juga buruk.

Jehansah menjelaskan, KPR bersubsidi adalah program bantuan pembiayaan pemilikan rumah dari APBN. Program seperti itu tidak menunjukkan kinerja pemerintah dalam memproduksi perumahan karena hanya menyentuh sisi konsumen kredit. Lebih-lebih suplai rumah komersial dari pengembang, sama sekali tidak bisa dihitung sebagai capaian PSR dan mengurangi backlog, karena berada di ranah bisnis dan investasi properti.

Ketiga, klaim capaian PSR yang dihitung dari pembangunan rumah oleh semua kalangan itu tidak tepat sama sekali, karena pemerintah mengklaim domain masyarakat. “Bahwa seluruh orang membangun perumahan dan permukimannya sendiri, itu sudah jadi praktek sejak dulu. Semua itu domain masyarakat, ada di ranah privat, baik secara individu maupun organisasi. Capaian masyarakat itu tidak boleh diklaim sebagai capaian pemerintah,” tegas Jehansyah. Klaim PSR yang dihitung dari capaian seluruh kalangan itu juga mengaburkan peran utama pemerintah. Dengan klaim seperti itu, pemerintah menjalankan program perumahan rakyat yang tidak efektif. "Masalah perumahan rakyat itu utamanya di perkotaan. Backlog timbul karena perkembangan perkotaan yang huniannya tidak terjangkau oleh kebanyakan warga, sehingga makin meluaskan kawasan kumuh,” jelasnya.

Menurut dia, Kementerian PUPR harusnya fokus pada program-program di sisi produksi perumahan dengan prioritas di perkotaan. Caranya dengan menyiapkan instrumen pengembang publik dalam bentuk BUMN atau BUMD. “Bukan dengan memperbanyak satuan kerja proyek APBN. Kegemaran mengerjakan proyek seperti itu menghilangkan peran kementerian sebagai regulator, berganti menjadi operator,” ujar Jehansyah.

Pemerintah, lanjutnya, harus segera mengevaluasi total program-program perumahannya. Di kota-kota besar pemerintah perlu mengembangkan program public rental housing yang sebelumnya sudah dijalankan BUMN. Juga membina program perumahan yang dijalankan BUMD di daerah. “Kementerian PUPR harus menyempurnakan program rusunawa (rumah susun sederhana sewa), dan menghapus rusunami (rumah susun sederhana milik) yang kualitas bangunannya buruk dan kini jadi sarang masalah sosial,” pungkas Jehansyah. 


Dapatkan berita update AyoProperti.com di Google News


Read more stories:

Realisasi Program Sejuta Rumah 2015-2023 Lebih Dari 1 Juta Unit Per Tahun

Pemerintah Klaim Sampai September Realisasi Program Sejuta Rumah Hampir 900 Ribu